Sejarah Kabupaten Lebak: Dari Kesultanan Banten Hingga Kini

SEJARAH BANTEN – Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki luas wilayah 3.424,72 km2 dan jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang di utara, Samudra Hindia di selatan, Kabupaten Sukabumi dan Bogor di timur, serta Kabupaten Serang di barat. Ibu kota Kabupaten Lebak adalah Rangkasbitung, yang merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan.

Kabupaten Lebak memiliki sejarah yang panjang dan menarik, yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten. Berikut ini adalah rangkuman sejarah Kabupaten Lebak dari masa ke masa:

Masa Kesultanan Banten

Kesultanan Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berdiri di Jawa Barat pada abad ke-16 hingga ke-19. Kesultanan ini merupakan pecahan dari Kerajaan Sunda yang runtuh akibat serangan Kerajaan Demak pada tahun 1527. Kesultanan Banten kemudian berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Nusantara, yang memiliki hubungan dengan berbagai negara di Asia dan Eropa.

Wilayah Kesultanan Banten pada masa kejayaannya mencakup seluruh Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Lampung, Madura, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Nusa Tenggara. Salah satu wilayah yang termasuk dalam Kesultanan Banten adalah Kabupaten Lebak, yang saat itu disebut sebagai Banten Kidul atau Jagat Kidul.

Banten Kidul merupakan wilayah yang subur dan kaya akan hasil bumi, seperti padi, palawija, rempah-rempah, kayu, rotan, dan madu. Wilayah ini juga memiliki banyak sumber daya alam, seperti emas, perak, besi, timah, dan batu bara. Selain itu, Banten Kidul juga memiliki potensi wisata alam dan budaya yang menarik, seperti pantai, gunung, air terjun, hutan lindung, serta masyarakat adat Baduy.

Banten Kidul diperintah oleh seorang bupati yang diangkat oleh sultan Banten. Bupati bertugas mengurus pemerintahan, keamanan, peradilan, dan pajak di wilayahnya. Bupati juga bertanggung jawab untuk mengirim upeti berupa hasil bumi dan sumber daya alam kepada sultan setiap tahunnya.

Salah satu bupati Banten Kidul yang terkenal adalah Raden Adipati Arya Wiralodra (1742-1813), yang memerintah pada tahun 1776-1813. Ia dikenal sebagai bupati yang bijaksana, adil, dan berani. Ia juga merupakan tokoh perjuangan melawan penjajahan Belanda dan Inggris di wilayahnya.

Masa Penjajahan Belanda dan Inggris

Pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-19, Kesultanan Banten mengalami kemunduran akibat persaingan perdagangan dan konflik politik dengan Belanda dan Inggris. Belanda berhasil menguasai pelabuhan Banten pada tahun 1682 dan membatasi aktivitas perdagangan kesultanan. Belanda juga mencoba mengintervensi urusan dalam negeri kesultanan dengan mengadu domba antara sultan dengan para pejabat dan rakyatnya.

Pada tahun 1808-1811, Belanda digantikan oleh Inggris dalam menguasai Jawa Barat. Inggris dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur jenderal. Raffles melakukan reformasi administrasi dengan membubarkan kesultanan-kesultanan di Jawa Barat dan membentuk karesidenan-karesidenan sebagai pengganti. Salah satu karesidenan yang dibentuk adalah Karesidenan Banten.

Karesidenan Banten dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Serang (Banten Utara), Caringin (Banten Barat), dan Lebak (Banten Selatan). Kabupaten Lebak memiliki lima distrik yaitu Rangkasbitung, Lebak, Sajira, Parungkujang, dan Cilangkahan. Kabupaten Lebak diperintah oleh seorang bupati yang diangkat oleh Raffles.

Salah satu bupati Lebak yang diangkat oleh Raffles adalah Tumenggung Suradilaga (Raden Muhammad), yang memerintah pada tahun 1813-1816. Ia merupakan mantan pejabat kesultanan Banten yang beralih ke pihak Inggris. Ia dikenal sebagai bupati yang korup dan menindas rakyatnya.

Pada tahun 1816, Inggris mengembalikan Jawa Barat kepada Belanda. Belanda kemudian mengganti bupati Lebak dengan Tubagus Jamil (Raden Adipati Jamil), yang merupakan putra dari Sultan Banten Abul Mahasin Muhammad Syifa’u Zainul Abidin. Tubagus Jamil memerintah pada tahun 1816-1828. Ia dikenal sebagai bupati yang loyal kepada Belanda dan membantu mereka dalam menghadapi pemberontakan rakyat.

Salah satu pemberontakan rakyat yang terjadi di wilayah Lebak adalah Pemberontakan Cadas Pangeran pada tahun 1827-1828. Pemberontakan ini dipimpin oleh Ki Buyut Cadas Pangeran, yang merupakan keturunan dari Pangeran Arya Wiralodra. Ki Buyut Cadas Pangeran menentang kebijakan Belanda yang merampas tanah-tanah milik rakyat dan mengenakan pajak yang tinggi. Ia juga menolak untuk mengirim upeti kepada Belanda.

Pemberontakan Cadas Pangeran berhasil merebut beberapa wilayah di Lebak dan menyerang pos-pos Belanda. Namun, pemberontakan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pasukan Belanda dengan bantuan dari bupati Lebak dan beberapa tokoh adat setempat. Ki Buyut Cadas Pangeran tewas dalam pertempuran di Gunung Cadas Pangeran pada tahun 1828.

Masa Hindia Belanda

Pada tahun 1828, Belanda melakukan reformasi administrasi dengan menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi. Kabupaten-kabupaten di Jawa Barat dibagi menjadi beberapa afdeling (afdeling) atau daerah otonom. Kabupaten Lebak masuk dalam Afdeling Bantam (Banten) bersama dengan kabupaten Serang dan Pandeglang.

Afdeling Bantam diperintah oleh seorang asisten residen yang berkedudukan di Serang. Asisten residen dibantu oleh seorang kontrolir untuk mengawasi urusan pemerintahan, keuangan, dan peradilan di wilayahnya. Kontrolir juga bertugas untuk mengumpulkan pajak dan upeti dari para bupati.

Bupati Lebak tetap dipertahankan sebagai pejabat lokal yang bertanggung jawab atas urusan dalam negeri di wilayahnya. Bupati Lebak juga tetap memiliki hak untuk mengangkat para pejabat rendahan seperti wedana (kepala distrik), camat (kepala kecamatan), lurah (kepala desa), dan kepala dusun.

Salah satu bupati Lebak yang terkenal pada masa ini adalah Raden Adipati Kusumah Atmaja (1849-1891), yang memerintah pada tahun 1856-1873. Ia dikenal sebagai bupati yang progresif, visioner, dan berjiwa sosial. Ia juga merupakan tokoh pergerakan nasional yang berperan dalam mendirikan organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908.

Raden Adipati Kusumah Atmaja juga dikenal karena keterlibatannya dalam kasus Max Havelaar, sebuah novel karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker) yang mengkritik penjajahan Belanda di Indonesia. Novel ini didasarkan pada pengalaman Multatuli sebagai asisten residen di Lebak pada tahun 1856.

Dalam novel tersebut, Multatuli menggambarkan bagaimana ia berusaha membela hak-hak rakyat Lebak yang ditindas oleh bupati Lebak dan para pejabat setempat. Namun, ia mendapat tentangan dari atasannya yaitu residen Banten dan gubernur jenderal Hindia Belanda. Akhirnya, ia mengundurkan diri dari jabatannya dan meninggalkan Lebak.

Setelah kepergian Multatuli, bupati Lebak diganti oleh Raden Adipati Suryalaga (1873-1882), yang merupakan adik dari Raden Adipati Kusumah Atmaja. Ia dikenal sebagai bupati yang taat kepada Belanda dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Ia juga terlibat dalam kasus pembunuhan seorang wedana bernama Raden Wiradiredja, yang diduga karena motif politik dan ekonomi.

Pada tahun 1882, Raden Adipati Suryalaga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Suryakusumah (1882-1891). Ia merupakan bupati yang berpendidikan dan berwawasan luas. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya di wilayahnya. Ia mendukung perkembangan pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur di Lebak.

Pada tahun 1891, Raden Adipati Suryakusumah meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Suryanegara (1891-1906). Ia merupakan bupati yang berjiwa nasionalis dan anti-kolonial. Ia juga merupakan salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo bersama dengan ayahnya dan pamannya. Ia berusaha memajukan Lebak dengan cara-cara modern dan demokratis.

Pada tahun 1906, Raden Adipati Suryanegara meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Suryamanggala (1906-1918). Ia merupakan bupati yang berwatak lemah dan mudah dipengaruhi oleh orang lain. Ia tidak memiliki visi dan misi yang jelas untuk memimpin Lebak. Ia juga sering berkonflik dengan para pejabat Belanda dan rakyatnya sendiri.

Pada tahun 1918, Raden Adipati Suryamanggala meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Adipati Suryadiningrat (1918-1924). Ia merupakan bupati yang berpendirian keras dan tidak mau tunduk kepada Belanda. Ia juga merupakan tokoh pergerakan nasional yang terlibat dalam organisasi Sarekat Islam dan Partai Nasional Indonesia. Ia menentang kebijakan Belanda yang merugikan rakyat Lebak, seperti monopoli gula, kopi, karet, dan tembakau.

Pada tahun 1924, Raden Adipati Suryadiningrat dipecat oleh Belanda karena dianggap sebagai pemberontak. Ia kemudian dibuang ke Sumatera Barat dan meninggal di sana pada tahun 1930. Setelah itu, jabatan bupati Lebak diisi oleh beberapa orang yang ditunjuk oleh Belanda secara bergantian. Mereka adalah:

  • Raden Tumenggung Wiradireja (1924-1927), mantan wedana Rangkasbitung.
  • Raden Tumenggung Wiranagara (1927-1930), mantan wedana Cilangkahan.
  • Raden Tumenggung Wiradikusuma (1930-1933), mantan wedana Parungkujang.
  • Raden Tumenggung Wirasuta (1933-1936), mantan wedana Sajira.
  • Raden Tumenggung Wiradharma (1936-1942), mantan wedana Lebak.

Para bupati Lebak yang ditunjuk oleh Belanda ini tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan yang besar. Mereka hanya berfungsi sebagai alat bagi Belanda untuk mengendalikan wilayah Lebak. Mereka juga tidak memiliki hubungan yang baik dengan rakyat Lebak, yang semakin menderita akibat penjajahan Belanda.

Masa Pendudukan Jepang

Pada tahun 1942, Jepang berhasil mengalahkan Belanda dan menguasai Indonesia. Jepang kemudian membentuk pemerintahan militer di Indonesia dengan nama Dai Nippon Teikoku Gunseibu (Angkatan Perang Kekaisaran Jepang). Jepang juga melakukan reformasi administrasi dengan menghapus sistem karesidenan dan afdeling yang dibuat oleh Belanda. Jepang kemudian membentuk shu (provinsi) dan ken (kabupaten) sebagai pengganti.

Shu Bantam (Banten) dibentuk dengan menggabungkan kabupaten Serang, Pandeglang, dan Lebak. Shu Bantam diperintah oleh seorang shucho (gubernur) yang berkedudukan di Serang. Shucho dibantu oleh seorang gunseikan (komandan militer) untuk mengawasi urusan militer, keamanan, dan peradilan di wilayahnya.

Ken Lebak tetap dipertahankan sebagai satuan administrasi lokal yang berada di bawah shu Bantam. Ken Lebak memiliki lima gun (distrik) yaitu Rangkasbitung, Lebak, Sajira, Parungkujang, dan Cilangkahan. Ken Lebak diperintah oleh seorang kenchiji (bupati) yang diangkat oleh shucho.

Kenchiji Lebak yang pertama adalah Raden Tumenggung Wiradharma, yang merupakan bupati Lebak terakhir yang ditunjuk oleh Belanda. Ia memerintah pada tahun 1942-1943. Ia dikenal sebagai kenchiji yang kooperatif dengan Jepang dan membantu mereka dalam merekrut romusha (pekerja paksa) dari wilayahnya.

Kenchiji Lebak yang kedua adalah Raden Tumenggung Wiranegara, yang merupakan mantan wedana Cilangkahan. Ia memerintah pada tahun 1943-1945. Ia dikenal sebagai kenchiji yang berani dan beroposisi terhadap Jepang. Ia juga merupakan tokoh pergerakan nasional yang terlibat dalam organisasi PETA (Pembela Tanah Air) dan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Lebak mengalami penderitaan yang lebih besar daripada masa penjajahan Belanda. Jepang melakukan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat Lebak, seperti:

  • Mengambil hasil bumi dan sumber daya alam dari wilayah Lebak untuk kepentingan perang Jepang.
  • Menetapkan pajak dan upeti yang lebih tinggi kepada rakyat Lebak.
  • Merekrut romusha dari rakyat Lebak untuk bekerja paksa di proyek-proyek militer Jepang, seperti pembangunan jalan raya, jembatan, rel kereta api, dan lapangan terbang.
  • Melakukan penindasan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap rakyat Lebak yang menolak atau melawan kebijakan Jepang.

Akibat kebijakan-kebijakan Jepang tersebut, rakyat Lebak mengalami kelaparan, penyakit, kemiskinan, dan kematian. Banyak rakyat Lebak yang meninggal karena kekurangan gizi, wabah malaria, disentri, kolera, dan tifus. Banyak juga rakyat Lebak yang tewas karena kekerasan Jepang.

Rakyat Lebak tidak tinggal diam menghadapi penjajahan Jepang. Mereka melakukan berbagai bentuk perlawanan, seperti:

  • Mengadakan gerilya melawan pasukan Jepang dengan menggunakan senjata tradisional seperti bambu runcing, parang, tombak, dan keris.
  • Membentuk organisasi rahasia untuk menyebarkan semangat kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia.
  • Mengikuti pelatihan militer dari organisasi PETA untuk mempersiapkan diri menghadapi perang kemerdekaan Indonesia.
  • Mengikuti sidang BPUPKI untuk menyusun dasar-dasar negara Indonesia merdeka.

Salah satu tokoh perlawanan rakyat Lebak terhadap Jepang adalah Ki Buyut Trusmi, yang merupakan keturunan dari Ki Buyut Cadas Pangeran. Ki Buyut Trusmi menentang kebijakan Jepang yang merampas tanah-tanah milik rakyat dan mengenakan pajak yang tinggi. Ia juga menolak untuk menjadi romusha atau anggota PETA.

Ki Buyut Trusmi kemudian membentuk pasukan gerilya yang bernama Laskar Trusmi. Pasukan ini berjumlah sekitar 500 orang yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti petani, pedagang, ulama, dan seniman. Pasukan ini bermarkas di Desa Trusmi, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak.

Laskar Trusmi melakukan berbagai aksi melawan Jepang, seperti:

  • Menyerang pos-pos Jepang di wilayah Lebak dan sekitarnya.
  • Membakar gudang-gudang gula, kopi, karet, dan tembakau milik Jepang.
  • Membantu rakyat Lebak yang kelaparan dengan memberikan bantuan pangan dan obat-obatan.
  • Menyebarkan propaganda kemerdekaan Indonesia melalui media cetak dan lisan.

Laskar Trusmi berhasil menggemparkan Jepang dengan keberanian dan kelicikannya. Jepang kemudian mengirim pasukan besar untuk menumpas Laskar Trusmi. Namun, Laskar Trusmi tidak mudah ditaklukkan. Mereka terus bergerilya dengan menggunakan taktik hit and run.

Pada tahun 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Laskar Trusmi kemudian bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi Belanda. Ki Buyut Trusmi menjadi salah satu pahlawan nasional yang dihormati oleh rakyat Lebak.

Masa Kemerdekaan Indonesia

Pada masa kemerdekaan Indonesia, Kabupaten Lebak mengalami berbagai perubahan dan perkembangan. Berikut ini adalah beberapa hal penting yang terjadi di Kabupaten Lebak pada masa kemerdekaan Indonesia:

  • Pada tahun 1950, Kabupaten Lebak masuk dalam Provinsi Jawa Barat bersama dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat.
  • Pada tahun 1957, Kabupaten Lebak mengalami pemekaran dengan dibentuknya Kabupaten Pandeglang dari sebagian wilayah Kabupaten Lebak.
  • Pada tahun 1966, Kabupaten Lebak mengalami pemekaran lagi dengan dibentuknya Kota Rangkasbitung dari sebagian wilayah Kabupaten Lebak.
  • Pada tahun 2000, Kabupaten Lebak masuk dalam Provinsi Banten bersama dengan kabupaten-kabupaten lain di Banten.
  • Pada tahun 2003, Kota Rangkasbitung kembali menjadi bagian dari Kabupaten Lebak.

Kabupaten Lebak saat ini memiliki 28 kecamatan, 277 desa, dan 11 kelurahan. Kabupaten Lebak dipimpin oleh seorang bupati yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Bupati Lebak saat ini adalah Hj. Iti Octavia Jayabaya, S.E., M.M., yang menjabat sejak tahun 2018.

Kabupaten Lebak memiliki visi untuk menjadi kabupaten yang maju, mandiri, sejahtera, dan berbudaya. Untuk mewujudkan visi tersebut, Kabupaten Lebak memiliki misi sebagai berikut:

  • Meningkatkan kualitas pelayanan publik yang profesional, transparan, akuntabel, dan responsif.
  • Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi lokal.
  • Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman, bertaqwa, cerdas, sehat, dan berkarakter.
  • Meningkatkan infrastruktur dasar yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan mobilitas sosial.
  • Meningkatkan daya saing daerah melalui penguatan kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang baik.
  • Meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang bersih, hijau, dan lestari.
  • Meningkatkan nilai-nilai budaya lokal yang berakar pada sejarah dan identitas daerah.

Kabupaten Lebak memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan untuk mewujudkan visi dan misi tersebut. Beberapa potensi tersebut adalah:

  • Potensi pertanian yang meliputi tanaman pangan seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar; tanaman hortikultura seperti sayur-mayur, buah-buahan; tanaman perkebunan seperti kopi, karet, kelapa, cengkeh, lada; dan tanaman obat-obatan seperti jahe, kunyit, temulawak.
  • Potensi peternakan yang meliputi ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba; ternak kecil seperti ayam, itik, burung; dan ternak lainnya seperti lebah madu, ikan air tawar, ikan air laut.
  • Potensi perikanan yang meliputi perikanan laut seperti ikan tuna, ikan tongkol, ikan layang, ikan teri; perikanan darat seperti ikan mas, ikan nila, ikan lele; dan perikanan budidaya seperti udang, kepiting, kerang, rumput laut.
  • Potensi kehutanan yang meliputi hutan produksi seperti kayu jati, kayu meranti, kayu pinus; hutan konservasi seperti hutan lindung Gunung Halimun Salak; dan hutan sosial seperti hutan rakyat, hutan adat Baduy.
  • Potensi pariwisata yang meliputi wisata alam seperti pantai Sawarna, pantai Ciantir, pantai Cimaja, pantai Karang Taraje; gunung Halimun Salak, gunung Kendeng; air terjun Curug Gendang, air terjun Ciberang, air terjun Cisarua; danau Cilali, danau Cibereum; wisata budaya seperti kampung adat Baduy Dalam, kampung adat Baduy Luar; situs sejarah Cadas Pangeran, situs sejarah Astana Gede; wisata religi seperti makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, makam Syekh Nawawi Al-Bantani; dan wisata edukasi seperti museum Lebak Wangi, museum Multatuli.

Kabupaten Lebak terus berupaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut dengan cara-cara yang inovatif dan berkelanjutan. Kabupaten Lebak juga terus berupaya untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik di dalam maupun di luar daerah. Kabupaten Lebak juga terus berupaya untuk menghadapi berbagai tantangan dan peluang yang ada di era globalisasi ini.

Kabupaten Lebak adalah kabupaten yang memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Kabupaten Lebak juga adalah kabupaten yang memiliki potensi yang besar dan beragam. Kabupaten Lebak juga adalah kabupaten yang memiliki visi dan misi yang jelas dan terarah. Kabupaten Lebak adalah kabupaten yang siap untuk maju bersama Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *