FOKUS BANTEN – Kerajaan Islam Banten adalah salah satu kerajaan Islam yang berdiri di Pulau Jawa pada abad ke-16. Dalam artikel ini, kami akan membahas sejarah berdirinya Kerajaan Banten, masa kejayaannya, kemundurannya, serta peninggalan-peninggalannya yang masih dapat ditemukan hingga saat ini.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten
Sebelum periode Islam, Banten adalah sebuah kota penting yang berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda. Namun, pada tahun 1525-1526, Sunan Gunung Jati, atau yang dikenal juga sebagai Syarif Hidayatullah, berhasil menguasai Banten dengan bantuan pasukan dari Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati kemudian mendirikan Kesultanan Banten sebagai kadipaten di bawah Kesultanan Cirebon. Pada tahun 1552, putra Sunan Gunung Jati, Sultan Maulana Hasanuddin, diangkat sebagai raja pertama Kesultanan Banten.
Sultan Maulana Hasanuddin memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Lampung dan Palembang. Ia membangun ibu kota baru di Surosowan dan memperkuat angkatan lautnya untuk mengendalikan perdagangan di Selat Sunda. Selain itu, Sultan Maulana Hasanuddin menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan negara-negara asing seperti Turki Utsmani, Inggris, dan Portugal.
Masa Kejayaan Kerajaan Banten
Masa kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang pemimpin yang visioner, cakap, dan berani. Ia berhasil memajukan kekuatan politik dan angkatan perang Banten untuk melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Belanda yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Sultan Ageng Tirtayasa juga membangun benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai Banten dan memperbaiki infrastruktur kota.
Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga aktif dalam pengembangan kebudayaan dan pendidikan Islam di Banten. Ia mendirikan pesantren-pesantren dan membangun Masjid Agung Banten. Pada masa pemerintahannya, sastra dan seni Islam juga mengalami perkembangan pesat, seperti syair, hikayat, wayang kulit, dan gamelan. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan dengan dunia Islam melalui pengiriman utusan ke Mekkah.
Kemunduran Kerajaan Banten
Kemunduran Kerajaan Banten dimulai dari konflik internal antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahhar. Sultan Haji, yang terpengaruh oleh gaya hidup Barat, tidak setuju dengan kebijakan ayahnya yang anti-Belanda dan ingin berdamai dengan VOC. Ia kemudian memberontak dan mendeklarasikan dirinya sebagai raja baru di ibu kota baru yang diberinya nama Kaibon.
Konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu domba dan melemahkan Kerajaan Banten. VOC mendukung Sultan Haji dengan memberikan bantuan senjata dan pasukan. Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa dikalahkan dan ditangkap oleh VOC. Ia kemudian meninggal dalam tahanan pada tahun 1692.
Sultan Haji, yang menjadi raja boneka yang tunduk pada VOC, menyerahkan monopoli perdagangan rempah-rempah, garam, dan lada kepada VOC. Ia juga menyerahkan sebagian besar wilayah kekuasaannya kepada VOC. Sultan Haji meninggal pada tahun 1690 dan digantikan oleh putranya, Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Zainul Abidin.
Sultan Zainul Abidin berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh VOC dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Banten. Ia membangun kembali angkatan laut Banten dan menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Mataram, Banjar, dan Gowa. Ia juga mengirim utusan ke Turki Utsmani, Perancis, dan Inggris untuk mencari bantuan. Namun, upaya-upaya ini tidak berhasil dan Kerajaan Banten terus mendapat tekanan dari VOC.
Pada tahun 1752, VOC berhasil menyerang dan menghancurkan ibu kota Surosowan. Sultan Zainul Abidin terpaksa melarikan diri ke Anyer dan kemudian ke Cirebon. Ia meninggal pada tahun 1753 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin. Sultan Muhammad Syifa berusaha untuk mempertahankan sisa-sisa wilayah kekuasaannya dari serangan VOC dan Mataram. Namun, ia tidak mampu mengatasi masalah-masalah internal dan eksternal yang mengancam Kerajaan Banten.
Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Kerajaan Banten menjadi bagian dari Hindia Belanda secara sepihak. Sultan Muhammad Shafiuddin, yang saat itu menjadi raja terakhir Kerajaan Banten, menolak dekrit tersebut dan melawan Daendels. Namun, ia dikalahkan dan ditangkap oleh pasukan Belanda pada tahun 1813. Ia dibuang ke Ambon dan meninggal di sana pada tahun 1833.
Peninggalan Kerajaan Banten
Meskipun Kerajaan Banten telah runtuh, namun peninggalan-peninggalannya masih dapat ditemukan hingga saat ini. Beberapa peninggalan Kerajaan Banten yang terkenal adalah:
Masjid Agung Banten:
Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580) dan merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki arsitektur yang unik dengan menara-menara yang tinggi dan kubah-kubah yang berbentuk bawang.
Benteng Surosowan:
Benteng ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570) sebagai ibu kota Kerajaan Banten. Benteng ini memiliki luas sekitar 16 hektare dan dikelilingi oleh parit-parit yang dalam. Benteng ini hancur akibat serangan VOC pada tahun 1752.
Benteng Speelwijk:
Benteng ini dibangun oleh VOC pada tahun 1684 sebagai benteng pertahanan dan pusat perdagangan di Banten. Benteng ini memiliki bentuk persegi panjang dengan empat bastion di setiap sudutnya. Di dalam benteng ini terdapat gereja, rumah sakit, gudang, dan kantor VOC.
Istana Kaibon:
Istana ini dibangun oleh Sultan Haji (1683-1690) sebagai ibu kota baru Kerajaan Banten setelah ia memberontak terhadap ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Istana ini memiliki luas sekitar 10 hektare dan dilengkapi dengan kolam dan taman yang indah.
Makam Sunan Gunung Jati:
Makam ini merupakan makam dari Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Banten. Makam ini terletak di kompleks makam Cirebon dan merupakan salah satu tempat ziarah yang populer di Jawa Barat.
Keraton Kaibon:
Keraton ini merupakan istana resmi dari Kesultanan Banten. Keraton Kaibon terletak di sekitar kompleks istana di Serang, Banten. Meskipun sebagian besar bangunan keraton telah hilang, beberapa bagian yang masih ada memberikan gambaran tentang kejayaan Kerajaan Banten pada masa lalu.
Museum Benteng Speelwijk:
Bangunan Benteng Speelwijk yang dulunya merupakan pusat perdagangan dan pertahanan VOC kini telah diubah menjadi Museum Benteng Speelwijk. Museum ini menampilkan koleksi arkeologi, artefak sejarah, dan informasi mengenai sejarah Kerajaan Banten dan peran VOC di wilayah tersebut.
Seni dan Kebudayaan:
Kerajaan Banten juga memiliki warisan seni dan kebudayaan yang beragam. Seni pertunjukan seperti tari Topeng Banten dan tari Cokek Banten merupakan bagian dari tradisi seni yang masih dilestarikan hingga saat ini. Seni ukir kayu Banten juga terkenal dengan motif-motif halus dan indah yang menghiasi berbagai bangunan dan benda seni.
Kesenian Kethoprak:
Kethoprak adalah kesenian tradisional yang berkembang di daerah Banten. Pertunjukan Kethoprak melibatkan lakon-lakon klasik Jawa yang dipadukan dengan kesenian daerah Banten, seperti tari Cokek dan musik tradisional. Kesenian ini menjadi bagian penting dari budaya Banten dan sering dipertunjukkan dalam berbagai acara tradisional.
Kerajinan Anyaman:
Kerajinan anyaman juga merupakan keahlian tradisional yang masih dilestarikan di daerah Banten. Masyarakat Banten terampil dalam membuat anyaman dari bambu, seperti keranjang, tikar, dan aksesoris lainnya. Kerajinan anyaman ini memiliki keunikan dan keindahan tersendiri serta menjadi salah satu produk kerajinan khas Banten.
Kesimpulan
Kerajaan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam yang penting di Pulau Jawa pada abad ke-16 hingga ke-19. Kerajaan ini memiliki sejarah yang kaya, mencakup masa berdirinya, masa kejayaannya di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, hingga kemundurannya akibat konflik internal dan pengaruh VOC. Meskipun Kerajaan Banten telah runtuh, peninggalan-peninggalannya yang bersejarah masih dapat ditemukan hingga saat ini, seperti Masjid Agung Banten, Benteng Surosowan, Benteng Speelwijk, Istana Kaibon, dan Makam Sunan Gunung Jati.